11. Jika seorang imam yang mukim hendak shalat Maghrib, dan musafir hendak shalat Isya’, boleh baginya mengqashar. Jika imam berdiri untuk rakaat ketiga, musafir boleh berniat untuk memisahkan diri, tasyahud kemudian salam. Atau tetap duduk, hingga salam bersama imam.
12. Yang lebih afdhal, bagi musafir yang berkelompok (rombongan -pent), untuk tidak shalat bersama jamaa’ah yang mukim dalam shalat-shalat yang dapat diqashar (Dhuhur, Ashar, Isya’). Hendaknya mereka mendirikan shalat berjama’ah sendiri untuk mengqashar shalat.
13. Adapun jika seorang bersafar sendirian, wajib baginya shalat bersama jama’ah yang mukim. Tidak dibenarkan baginya untuk shalat sendiri dan mengqashar, dikarenakan shalat berjama’ah hukumnya wajib, sedang qashar hukumnya sunnah.
14. Jika dua shalat dijama’ di waktu awal dan diqashar, lalu ia sampai di negeri asalnya sebelum masuk waktu shalat yang kedua, maka shalatnya tetap sah dan tidak harus mengulang shalat.
15. Jika seorang musafir berniat jama’ ta’khir, lalu dia sampai di negeri asalnya di waktu shalat yang kedua sementara ia belum shalat (sementara keringanan untuk qashar shalat berakhir dengan kembalinya musafir ke negeri asal, lihat kultwit pertama -pent), maka ia harus shalat secara sempurna dan bahkan harus menjama’ tanpa qashar.
16. Namun jika sekembalinya ia ke negeri asal, ia masih berada dalam waktu shalat yang pertama, maka ia harus segera shalat dan tidak mengakhirkannya karena keringanan untuk qashar berakhir dengan sampainya seorang musafir ke negeri asal.
17. Boleh untuk jama’ qashar walaupun tidak berniat menjama’ shalat ketika mulai mengerjakan shalat yang pertama (artinya baru berniat jama’ ketika masuk shalat yang kedua -pent)
18. Sebagian orang mengira, bahwa menjama’ shalat itu harus dilakukan di awal waktu yang pertama, atau di awal waktu yang kedua. Ini merupakan sikap yang berlebihan, yang benar di setiap waktu dua shalat tersebut, menjama’ shalat boleh dilakukan.
19. Misalnya seorang berniat menjama’ shalat Maghrib dan ‘Isya, maka dia boleh melakukan shalat di waktu mana saja, mulai dari adzan Maghrib hingga mendekati pertengahan malam (akhir waktu Isya’ menurut pendapat yang rajih, wallahu a’lam -pent)
20. Musafir wajib shalat dengan menghadap kiblat. Bisa dengan bertanya kepada manusia, atau melihat arah kiblat di masjid-masjid, atau dengan bantuan alat-alat teknologi yang dapat menunjukkan arah.
21. Tidak ada ruang ijtihad dalam menentukan arah kiblat. Tidak sah shalat seorang yang tidak menghadap kiblat.
22. Namun apabila dia sedang dalam perjalanan dan tidak ada seorang pun yang dapat memberitahunya dimana arah kiblat, maka dia boleh berijtihad dalam menentukan arah kiblat, kemudian shalat menghadapnya. Dan tidak diharuskan mengulang, jika ternyata arah kiblatnya salah.
23. Seorang musafir disunnahkan untuk mengumandangkan adzan jika shalat. Jika ia sedang menjama’ dua shalat, adzannya cukup sekali, kemudian iqamah di tiap-tiap shalat (iqamah dua kalli -pent)
24. Jika sulit baginya untuk shalat bersama laki-laki, maka boleh untuk shalat dengan perempuan. Posisi makmum perempuan di belakangnya (seperti berbaris). Berlaku bagi mereka hukum-hukum dalam shalat berjama’ah.
Wallahu a’lamu bisshawab, wa shallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammad.
-selesai-